03 February 2010

Kopi, Rokok, dan Sebuah Curhat.

Satu teguk, dua teguk, tiga teguk. Aku siap bercerita. Empat orang pria duduk di sebuah meja dengan cangkir kopi dan sepuntung rokok ditangan kanan mereka.

Aku bertemu dengan istriku sepuluh tahun yang lalu. Aku melihatnya di sebuah kedai makan ketika sedang menyapa seorang teman. Wajahnya tidak berubah dan tidak berisi. Tanpa ekspresi, sama seperti hari ini. Aku mulai mencoba bicara padanya. Hai, sapaku. Jantung berdegup kencang menunggu sebuah jawaban meski aku tidak bertanya apa apa. Hai, dia menjawabnya. Senyum mulai muncul diwajahku. Dari hari ke hari ribuan hai terus aku lontarkan. Elektronik, langsung, atau bahkan melalui mulut orang. Tidak satupun ia katakan hai lebih dahulu padaku. Aku terus bertanya dan dibuat penasaran hingga aku menerima kenyataan bahwa itulah dia yang memang tidak pernah menyapa.

Yakin bahwa hai demi hai sudah cukup aku katakan, aku mencoba membawanya lebih jauh. Kugerakan mulut ku dan kukatakan bahwa aku suka padanya.
Oke. dia menjawab Oke dan menutup mulutnya. Wajahnya tidak berekspresi, sama seperti hari ini.

Kami berjalan bersama. Satu dua tiga empat lima tahun dan kuputuskan untuk menikahinya. Iya pun hanya akan berkata ya, ya, ya, pada setiap tanda tanya yang dilontarkan kepadanya ketika pernikahan berlangsung. Kami berdansa malam itu, dan masih aku yang harus terlebih dahulu berkata hai.

Kehidupan pernikahanku tidaklah hebat. Wajahnya tidak berubah dari hari ke hari. Tanpa ekspresi, seperti hari ini.

Setiap kali kami "bermain di taman kami" wajah nya pun tidak berubah. Tanpa Ekspresi, seperti hari ini. Aku kira ini salahku, apakah aku yang kurang lincah? ternyata bukan. Aku telah mencobanya ke wanita lain dan ekspresinya berbeda dari istriku. Ia lebih seperti kuda liar yang baru dilepas ke padang hijau.

Pulang dari kantor, lelah, membayangkan sambutan hangat, namun masih, harus aku yang berkata hai terlebih dahulu. hari demi hari, hai demi hai. ia tetap menanggapinya seperti ini. Tanpa ekspresi, seperti hari ini.

Aku menghisap rokok ku. Hisapan terakhir. Kumatikan, dan kuminum kopiku. Teman ku membuka mulutnya.
"jika memang begitu, mengapa tak kau ceraikan dari dulu saja istrimu?"
Aku menatapnya. dan berkata..
"Jika aku menceraikan dia, apa yang harus aku keluhkan tentang hidupku? Apa aku harus diam. tanpa ekspresi, seperti istriku hari ini?"

No comments:

Post a Comment