27 December 2012

Movie Review: Les Miserables






Genre musikal bisa menjadi salah satu genre tertua di industri film. Sejak film berubah dari silent movies menjadi talkies sudah banyak produser memanfaatkan penemuan revolusioner di tahun 1920an untuk tidak hanya membolehkan aktor berbicara namun juga bernyanyi.  

Dari tahun ke tahun film musikal kerap menyita hati para penonton dari segala umur.

Siapa yang tidak kenal Singin’ in the Rain (1967), Chicago (2002), dan Moulin Rouge (2001). Atau bahkan kartun animasi klasik dari Disney seperti The Lion King (1994), The Little Mermaid (1989) atau Snow White and Seven Dwarfs (1937) dimana secara tidak sadar, masa kecil anda sudah diambil alih oleh genre musikal ini.

Bahkan belakangan TV Series pun turut mengadaptasi genre satu ini, sebut saja Glee   yang kerap digemari para remaja muda.

Natal tahun ini saya memang sudah menunggu-nunggu sebuah film arahan Tom Hooper yang diangkat dari novel terkenal, Les Miserables. Adaptasi nya kepanggung teater-musikal sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Namun, untuk sebuah film ini masih menjadi tanda tanya besar bagi saya.

Dengan background penderitaan masyarakat Perancis kelas bawah pada zaman kekuasaan Charles X menjadikan kisah dari Les Miserables sendiri memang cukup (atau bahkan sangat) tragis. Ditambah lagi, line up para aktor dan aktris yang berperan di film ini memberikan penampilan yang luar biasa. Menjadikan film ini sempurna bagi saya.

Film musikal kebanyakan di era modern ini biasanya menggunakan teknik lip-sync dimana mereka akan melakukan recording terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan gambar dan hanya melakukan gerak bibir saat take dimulai.

Saya mengerti maksud dari penggunaan tekhnik tersebut. Banyak manfaat dari menggunakan tekhnik ini dimulai dari efisiensi, keringkasan, tidak perlu kuatir akan keadaan pita suara aktor atau aktris saat melakukan shooting yang panjang, mengurangi resiko kesalahan yang aktor/aktris lakukan saat shooting, serta suara nyanyian yang pasti sempurna sebagaimana para penyanyi profesional di album-album mereka.

Sebaliknya, di film ini Tom Hooper malah kembali menggunakan tekhnik kuno yang digunakan para pembuat film dari zaman The Jazz Singer (1927) dimana para aktor dan aktris melakukannya langsung dihadapan kamera.

“It’s a back to the future”, kata kawan saya memberikan komen mengenai tekhnik ini. Tom Hooper menggunakan tekhnik lawas yang mungkin menjadikan sebuah gerakan yang revolusioner untuk industri film khususnya genre musikal di masa depan. Memang secara tekhnis ini terdengar tradisional. Tapi terkadang memang kita terlupa bahwa sesuatu yang instan dan ringkas pasti akan mengikis kesempurnaan itu sendiri.

Terus terang, saya selalu merasa ada yang hilang ketika menonton film-film musikal di era modern. Ada yang hilang dan kurang. Terkadang terasa flat dan telalu rapi. Dan berkat film ini, saya mengerti bahwa yang hilang adalah jalinan emosi antara aktor dan lagu yang mereka nyanyikan.

Selama ini aktor dan aktris akan terpagari karena mereka harus mengikuti suara dan lagu yang sudah mereka nyanyikan beberapa minggu lalu disebuah studio rekaman. Tentu menyamakan perasaan dan emosi diruang studio rekaman dan di set shooting menggunakan kostum dari karakter yang sudah diperankan adalah hal yang mustahil. Hal ini yang saya rasa menghambat film film musikal di era modern ini. Glee bagi saya hanyalah runtutan video klip diselingi sebuah cerita drama masa remaja. Atau bahkan Phantom of The Opera (2004) buatan Joel Schumacher pun masih ada yang terasa hilang dan kurang. Di film ini, para aktor tampak leluasa untuk memerankan karakter masing masing dalam mengirimkan tragedi tragedi dari  karakter yang mereka mainkan dikarenakan tekhnik ini.

Efek dari keleluasaan ini bisa kita nikmati dari betapa brilian nya para aktor dan aktris memerankan karakternya. Fantine diperankan oleh Anne Hathaway adalah contohnya. Fantine memang karakter yang tidak banyak mengambil porsi di film ini. Tetapi dia adalah alasan akan semua konflik di film ini. Dalam bahasa film kita menyebut Fantine adalah “point of no return” ;dimana karakter utama, Jean Valjean (diperankan oleh Hugh Jackman) terperangkap di dalam konflik dan harus menyelamatkan putri dari Fantine, Cossete. Hal ini menjadikan Fantine karakter yang krusial di film ini dan harus diperankan dengan sangat baik.

Titik kesuksesan Anne Hathaway dalam film ini tentu saja saat menyanyikan lagu “I Dreamed a Dream” di film ini. Suara yang goyah akan tangis menjadikan lagu ini lebih sempurna dan tragis daripada dinyanyikan secara bersih diruang studio. Emosi yang disalurkan oleh Anne Hathaway ke lagu ini pun begitu kuat dan dalam. Dan kembali lagi, semua ini berkat tekhnik yang sang sutradara putuskan untuk ia gunakan.

Hugh Jackman yang memerankan tokoh sentral dalam film ini, Jean Valjean juga memberikan penampilan terbaiknya dalam film ini. Setiap raut amarah dan kesedihan ia luapkan dengan sangat dramatis yang manis di dalam manis. Bisa dibilang, ini adalah salah satu penampilan Hugh Jackman yang paling memuaskan yang pernah ada di dalam karir industri nya. Dari awal film, penampilannya sudah berhasil membuat saya merinding. Terlebih lagi ketika ia meluapkan amarahnya ketika menyanyikan "Valjean's Soliloquy".

Kematangan dari para aktor dan aktris ini tidak disia siakan oleh sutradara Tom Hooper dan pengarah fotografi, Danny Cohen. Danny Cohen yang sempat menyabet Academy Awards dalam film The King’s Speech dimana ia juga berduet dengan Tom Hooper. Di film ini banyak digunakan shot shot close up dan personal. Saya rasa para pembuat film ingin menunjukan penderitaan masyarakat perancis saat itu secara personal dan mendalam. Seperti kabanyakan film film Tom Hooper yang tidak banyak menggunakan gerakan gerakan kamera fancy dan megah, hanya shot-shot simpel namun anda bisa menangkap raut tragis setiap karakter di film ini. Anda bisa melihat beberapa sentuhan khas dari Tom Hooper seperti menyudutkan karakter di ruang frame kamera yang memang sangat cocok untuk film seperti Les Miserables.

Detail serta keaslian dari Perancis pada zaman Charles X pun tampak di film ini. Ketika kamera menjorok maju menunjukan wajah dari karakter anda bisa melihat detail detail “keterpurukan” di wajah para karakter. Dari pakaian, make up, serta props semua disiapkan dengan sempurna di film ini.

Untuk saya, film ini bisa dibilang sebagai musikal yang sempurna. A Masterpiece.

Saya keluar dari teater dan tanda tanya saya luntur hari itu, berbuah menjadi tanda seru akan excitement yang film ini berikan kepada saya. Boleh dibilang, film ini merupakan salah satu film terbaik di tahun ini. Bon Travail!

No comments:

Post a Comment