Genre musikal bisa menjadi salah satu genre tertua di industri film. Sejak film berubah dari silent movies menjadi talkies sudah banyak produser memanfaatkan penemuan revolusioner di tahun 1920an untuk tidak hanya membolehkan aktor berbicara namun juga bernyanyi.
Dari tahun ke tahun film
musikal kerap menyita hati para penonton dari segala umur.
Siapa yang tidak kenal Singin’ in the Rain (1967), Chicago (2002), dan Moulin Rouge (2001). Atau bahkan kartun animasi klasik dari Disney
seperti The Lion King (1994), The Little Mermaid (1989) atau Snow White and Seven Dwarfs (1937)
dimana secara tidak sadar, masa kecil anda sudah diambil alih oleh genre
musikal ini.
Bahkan belakangan TV Series
pun turut mengadaptasi genre satu ini, sebut saja Glee yang kerap digemari para remaja muda.
Natal tahun ini saya memang
sudah menunggu-nunggu sebuah film arahan Tom Hooper yang diangkat dari novel
terkenal, Les Miserables. Adaptasi
nya kepanggung teater-musikal sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Namun,
untuk sebuah film ini masih menjadi tanda tanya besar bagi saya.
Dengan background penderitaan
masyarakat Perancis kelas bawah pada zaman kekuasaan Charles X menjadikan kisah
dari Les Miserables sendiri memang cukup (atau bahkan sangat) tragis. Ditambah
lagi, line up para aktor dan aktris yang berperan di film ini memberikan
penampilan yang luar biasa. Menjadikan film ini sempurna bagi saya.
Film musikal kebanyakan di
era modern ini biasanya menggunakan teknik lip-sync
dimana mereka akan melakukan recording terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan
gambar dan hanya melakukan gerak bibir saat take dimulai.
Saya mengerti maksud dari
penggunaan tekhnik tersebut. Banyak manfaat dari menggunakan tekhnik ini
dimulai dari efisiensi, keringkasan, tidak perlu kuatir akan keadaan pita suara
aktor atau aktris saat melakukan shooting yang panjang, mengurangi resiko
kesalahan yang aktor/aktris lakukan saat shooting, serta suara nyanyian yang
pasti sempurna sebagaimana para penyanyi profesional di album-album mereka.
Sebaliknya, di film ini Tom
Hooper malah kembali menggunakan tekhnik kuno yang digunakan para pembuat film
dari zaman The Jazz Singer (1927)
dimana para aktor dan aktris melakukannya langsung dihadapan kamera.
“It’s
a back to the future”, kata kawan saya memberikan komen mengenai
tekhnik ini. Tom Hooper menggunakan tekhnik lawas yang mungkin menjadikan
sebuah gerakan yang revolusioner untuk industri film khususnya genre musikal di
masa depan. Memang secara tekhnis ini terdengar tradisional. Tapi terkadang
memang kita terlupa bahwa sesuatu yang instan dan ringkas pasti akan mengikis
kesempurnaan itu sendiri.
Terus terang, saya selalu
merasa ada yang hilang ketika menonton film-film musikal di era modern. Ada
yang hilang dan kurang. Terkadang terasa flat dan telalu rapi. Dan berkat film
ini, saya mengerti bahwa yang hilang adalah jalinan emosi antara aktor dan lagu
yang mereka nyanyikan.
Selama ini aktor dan aktris
akan terpagari karena mereka harus mengikuti suara dan lagu yang sudah mereka
nyanyikan beberapa minggu lalu disebuah studio rekaman. Tentu menyamakan
perasaan dan emosi diruang studio rekaman dan di set shooting menggunakan kostum
dari karakter yang sudah diperankan adalah hal yang mustahil. Hal ini yang saya
rasa menghambat film film musikal di era modern ini. Glee bagi saya hanyalah runtutan video klip diselingi sebuah cerita
drama masa remaja. Atau bahkan Phantom of
The Opera (2004) buatan Joel Schumacher pun masih ada yang terasa hilang
dan kurang. Di film ini, para aktor tampak leluasa untuk memerankan karakter
masing masing dalam mengirimkan tragedi tragedi dari karakter yang mereka mainkan dikarenakan
tekhnik ini.
Efek dari keleluasaan ini
bisa kita nikmati dari betapa brilian nya para aktor dan aktris memerankan
karakternya. Fantine diperankan oleh Anne Hathaway adalah contohnya. Fantine
memang karakter yang tidak banyak mengambil porsi di film ini. Tetapi dia
adalah alasan akan semua konflik di film ini. Dalam bahasa film kita menyebut
Fantine adalah “point of no return” ;dimana karakter utama, Jean Valjean
(diperankan oleh Hugh Jackman) terperangkap di dalam konflik dan harus
menyelamatkan putri dari Fantine, Cossete. Hal ini menjadikan Fantine karakter
yang krusial di film ini dan harus diperankan dengan sangat baik.
Titik kesuksesan Anne Hathaway
dalam film ini tentu saja saat menyanyikan lagu “I Dreamed a Dream” di film ini.
Suara yang goyah akan tangis menjadikan lagu ini lebih sempurna dan tragis daripada
dinyanyikan secara bersih diruang studio. Emosi yang disalurkan oleh Anne
Hathaway ke lagu ini pun begitu kuat dan dalam. Dan kembali lagi, semua ini
berkat tekhnik yang sang sutradara putuskan untuk ia gunakan.
Hugh Jackman yang
memerankan tokoh sentral dalam film ini, Jean Valjean juga memberikan
penampilan terbaiknya dalam film ini. Setiap raut amarah dan kesedihan ia
luapkan dengan sangat dramatis yang manis di dalam manis. Bisa dibilang, ini
adalah salah satu penampilan Hugh Jackman yang paling memuaskan yang pernah ada
di dalam karir industri nya. Dari awal film, penampilannya sudah berhasil
membuat saya merinding. Terlebih lagi ketika ia meluapkan amarahnya ketika
menyanyikan "Valjean's Soliloquy".
Kematangan dari para aktor
dan aktris ini tidak disia siakan oleh sutradara Tom Hooper dan pengarah
fotografi, Danny Cohen. Danny Cohen yang sempat menyabet Academy Awards dalam
film The King’s Speech dimana ia juga
berduet dengan Tom Hooper. Di film ini banyak digunakan shot shot close up dan
personal. Saya rasa para pembuat film ingin menunjukan penderitaan masyarakat
perancis saat itu secara personal dan mendalam. Seperti kabanyakan film film
Tom Hooper yang tidak banyak menggunakan gerakan gerakan kamera fancy dan megah,
hanya shot-shot simpel namun anda bisa menangkap raut tragis setiap karakter di
film ini. Anda bisa melihat beberapa sentuhan khas dari Tom Hooper seperti
menyudutkan karakter di ruang frame kamera yang memang sangat cocok untuk film
seperti Les Miserables.
Detail serta keaslian dari
Perancis pada zaman Charles X pun tampak di film ini. Ketika kamera menjorok
maju menunjukan wajah dari karakter anda bisa melihat detail detail “keterpurukan”
di wajah para karakter. Dari pakaian, make up, serta props semua disiapkan
dengan sempurna di film ini.
Untuk saya, film ini bisa
dibilang sebagai musikal yang sempurna. A Masterpiece.
Saya keluar dari teater dan
tanda tanya saya luntur hari itu, berbuah menjadi tanda seru akan excitement
yang film ini berikan kepada saya. Boleh dibilang, film ini merupakan salah
satu film terbaik di tahun ini. Bon Travail!
No comments:
Post a Comment